Berita Mentawai: Suara Bumi Sikerei

Selasa, 18 Mei 2010

Suara Bumi Sikerei


Ketika sawit, budaya Mentawai pun menjadi sawit


Pro-kontra antara pendukung sawit dan yang tidak mendukung di masyarakat mulai terdengar. Dari kedai-kedai, perladangan ketika bertemu disana, di laut ketika memancing atau menjala dan paling parahnya menjadi suatu hayalan yang tinggi oleh masyarakat akan uang banyak dengan memberikan lahan kepada perusahaan sawit. Akibat issu sawit pola pikir masyarakat akan kehidupan generasi yang akan datang mulai kelam. Nampaknya lebih terang kearah sawit. Bencana alam yang sering mengancam mulai hilang dari pikir masyarakat akibat sosialisasi yang telah dilakukan oleh pihak perusahaan dengan cara iming-iming. Masalah iming-iming siapa yang tidak terlena bagi masyarakat yang kurang informasi? Inilah yang terjadi di Mentawai. Dikuatirkan, ketika sawit masuk, akan muncul budaya baru di masyarakat, seperti biasanya daun ubi kayu tidak dijual antar masyarakat, ahirnya akan terjadi jual-menjual. Artinya budaya masyarakat menjadi budaya uang, tingkat sosial orang Mentawai terpupus karena uang sawit. Suku yang memiliki lahan besar menjadi tuan takur, sedangkan suku yang memiliki lahan kecil menjadi pekerja pada lahan besar. Kalau ini terjadi, berapa banyak pohon sawit yang tumbuh di Mentawai untuk menyerap air sehingga sungai sebagai jalur transportasi menjadi kering. Sampan tidak akan jalan, pompong tidak akan berputar, supir boat maki-maki diri sendiri. Jadi apa gunanya dengan semua materi yang dimiliki tapi tidak berfungsi? Budaya materi jelas akan lahir di masyarakat yang mengakibatkan turunnya moral.
Sawit salah satu fenomena yang membuat kita geleng-geleng kepala karena lahan yang diplot tidak sedikit, tetapi ribuan hentar luasnya. Kuatirnya pemukiman masyarakat menjadi sasaran juga.
Selain diatas, masyarakat akan tergantung hidupnya pada perusahaan sawit. Ketika ada kegiatan masyarakat, ujung-ujungnya proposal ke perusahaan. Sistem kegotongroyongan akan hilang drastis tak terbatas. Masyarakat menjadi manja, parahnya ketika perusahaan tidak memfasilitasi masyarakat pada suatu saat nanti, masyarakat baru menyadari bahwa mereka terperdaya, dan apa boleh buat hutan sudah gubdul, sawit sudah tumbuh besar dan tanah masyarakat (adat) sudah milik Negara untuk di UGB kan oleh perusahaan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

BERIKAN KOMENTAR YANG LAYAK