Berita Mentawai: 2010

Sabtu, 22 Mei 2010

GERAKAN AMA - PM " WHAT?"


Begitu gempitanya issu masuknya sawit di Mentawai. Kadang terjadi di kedai kopi, kedai nasi, atas kapal dan tempat-tempat lainnya yang cocok untuk diskusi. Masyarakat Mentawai mulai terpecah-belah akibat kebijakan Bupati Kepulauan Mentawai. Ada yang mendukung dan ada yang tidak mau mendukung. Ironisnya, hampir pejabat PEMDA Mentawai mendukung masuknya sawit di tanah masyarakat adat. Namun kekuatan masyarakat adat seperti seekor macan ompong.

Dalam persoalan masa depan masyarakat adat, dan persoalan kehancuran masyarakat adat, nampaknya Aliansi Masyarakat Adat Peduli Mentawai (AMA-PM) hanya nama saja. Tidak ada manfaat dan fungsinya magi masyarakat adat lembaga tersebut. Mahasiswa melakukan gerakan, AMA_PM sembunyi diketiak persoalan. Nampaknya kata "Peduli" dalam nama lembaga itu "Omomg kosong". Tidak kritis,dan tidak politis, hanya sebuah lembaga yang tidak bersenyawa.

Kalau AMA-PM sebuah lembaga masyarakat adat, seharusnya sudah mulai melakukan gerakan-gerakan masyarakat adat, toh! sawit akan masuk di dalam wilayah tanah masyarakat adat. Dimana kedaulatanmu AMA-PM? Dimana VISI dan MISI mu yang menggebu itu seperti deru ombak yang memecah di tepi pantai, tapi tidak berbahaya. MAsyarakat adat adalah pilarnya negara. Sekarang negara mau memporak-porandakan masyarakat adat melalui kebijakan pemerintahannya, hak, harkat, martabat dan HAM selalu masyarakat adat jadi korban. Oleh karena itu harapan saya kepada AMA-PM tunjukkan kerakyatanmu.

Mahasiswa Mentawai dan Gerakannya




PAda tanggal 22 Mei 2010, seluruh pengurus organisasi mahasiswa antar daerah berkumpul di aula GPIB (Gereja Protestan Indonesia Bagian Barat) untuk memperbincangkan mengenai masuknya sawit di Kepulauan Mentawai. DAlam acara tersebut dipandu oleh beberapa mahasiswa dan salah seorang dari Sawit Wacth sebagai nara sumber saat itu.

Pertama mahasiswa belum memahami dampak sawit dan perusahaannya sehingga pertanyan bertubi-tubi kepada narasumber. Nara sumber dengan kemampuannya menjawab dan menjelaskan dampak sawit terhadap masyarakat, serta yang akan terjadi kedepan ketika sawit itu masuk ke pulau Mentawai.

Acara tersebut berakhir ketika kesepakatan muncul untuk membentuk suatu gerakan tolak sawit di Mentawai. Selain itu juga tindak lanjutnya, mahasiswa akan mengundang bupati, investor (pihak perusahan, masyraakat, dan TNS/Kehutanan, untuk melakukan seminar atau dengar pendapat pada agenda selanjutnya.

Kalau saya melihat bahwa mahasiswa Mentawai tidak bisa diremehkan karena kemampuan menganalisa selalu melekat pada diri mereka. Mahasiswa mentawai sebagai bagian dari pada masyarakat Mentawai, sudah benar bila mereka melihat masa depan Mentawai, karena himbas dari persoalan sawit akan menggorogoti generasinya sekarang dan anak-anak mereka kedepan.

Terjadinya pro-kontra di kalangan masyarakat tentang sawit karena informasi sawit yang hanya menyediakan yang dampak positifnya saja, sedangkan dampak negatifnya AMDAL yang dijadikan tameng untuk mengelabui masyarakat Mentawai.

Selamat untuk mahasiswa Mentawai, saya bangga atas kekritisan anda.

Kamis, 20 Mei 2010

Suara Bumi Sikerei


Masyarakat adat

Masyarakat hukum adat adalah sekelompok orang yang terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum karena kesamaan tempat tinggal ataupun atas dasar keturunan.
Hukum adat adalah sistem hukum yang dikenal dalam lingkungan kehidupan sosial di Indonesia dan negara-negara Asia lainnya seperti Jepang, India, dan Tiongkok. Sumbernya adalah peraturan-peraturan hukum tidak tertulis yang tumbuh dan berkembang dan dipertahankan dengan kesadaran hukum masyarakatnya. Karena peraturan-peraturan ini tidak tertulis dan tumbuh kembang, maka hukum adat memiliki kemampuan menyesuaikan diri dan elastis.
Dari 19 daerah lingkungan hukum (rechtskring) di Indonesia, sistem hukum adat dibagi dalam tiga kelompok, yaitu:
1. Hukum Adat mengenai tata negara
2. Hukum Adat mengenai warga (hukum pertalian sanak, hukum tanah, hukum perhutangan).
3. Hukum Adat mengenai delik (hukum pidana).
Istilah Hukum Adat pertama kali diperkenalkan secara ilmiah oleh Prof. Dr. C Snouck Hurgronje, Kemudian pada tahun 1893, Prof. Dr. C. Snouck Hurgronje dalam bukunya yang berjudul "De Atjehers" menyebutkan istilah hukum adat sebagai "adat recht" (bahasa Belanda) yaitu untuk memberi nama pada satu sistem pengendalian sosial (social control) yang hidup dalam Masyarakat Indonesia.
Istilah ini kemudian dikembangkan secara ilmiah oleh Cornelis van Vollenhoven yang dikenal sebagai pakar Hukum Adat di Hindia Belanda (sebelum menjadi Indonesia).
Pendapat lain terkait bentuk dari hukum adat, selain hukum tidak tertulis, ada juga hukum tertulis. Hukum tertulis ini secara lebih detil terdiri dari hukum ada yang tercatat (beschreven), seperti yang dituliskan oleh para penulis sarjana hukum yang cukup terkenal di Indonesia, dan hukum adat yang didokumentasikan (gedocumenteerch) seperti dokumentasi awig-awig di Bali.
Wilayah hukum adat di Indonesia
Menurut hukum adat, wilayah yang dikenal sebagai Indonesia sekarang ini dapat dibagi menjadi beberapa lingkungan atau lingkaran adat (Adatrechtkringen).
Seorang pakar Belanda, Cornelis van Vollenhoven adalah yang pertama mencanangkan gagasan seperti ini. Menurutnya daerah di Nusantara menurut hukum adat bisa dibagi menjadi 23 lingkungan adat berikut:
1. Aceh
2. Gayo dan Batak
3. Nias dan sekitarnya
4. Minangkabau
5. Mentawai
6. Sumatra Selatan
7. Enggano
8. Melayu
9. Bangka dan Belitung
10. Kalimantan (Dayak)
11. Sangihe-Talaud
12. Gorontalo
13. Toraja
14. Sulawesi Selatan (Bugis/Makassar)
15. Maluku Utara
16. Maluku Ambon
17. Maluku Tenggara
18. Papua
19. Nusa Tenggara dan Timor
20. Bali dan Lombok
21. Jawa dan Madura (Jawa Pesisiran)
22. Jawa Mataraman
23. Jawa Barat (Sunda)
Penegak hukum adat
Penegak hukum adat adalah pemuka adat sebagai pemimpin yang sangat disegani dan besar pengaruhnya dalam lingkungan masyarakat adat untuk menjaga keutuhan hidup sejahtera.
Aneka Hukum Adat
Hukum Adat berbeda di tiap daerah karena pengaruh
1. Agama : Hindu, Budha, Islam, Kristen dan sebagainya. Misalnya : di Pulau Jawa dan Bali dipengaruhi agama Hindu, Di Aceh dipengaruhi Agama Islam, Di Ambon dan Maluku dipengaruhi agama Kristen.
2. Kerajaan seperti antara lain: Sriwijaya, Airlangga, Majapahit.
3. Masuknya bangsa-bangsa Arab, China, Eropa.
Pengakuan Adat oleh Hukum Formal
Mengenai persoalan penegak hukum adat Indonesia, ini memang sangat prinsipil karena adat merupakan salah satu cermin bagi bangsa, adat merupkan identitas bagi bangsa, dan identitas bagi tiap daerah. Dalam kasus sala satu adat suku Nuaulu yang terletak di daerah Maluku Tengah, ini butuh kajian adat yang sangat mendetail lagi, persoalan kemudian adalah pada saat ritual adat suku tersebut, dimana proses adat itu membutuhkan kepala manusia sebagai alat atau prangkat proses ritual adat suku Nuaulu tersebut. Dalam penjatuhan pidana oleh sala satu Hakim pada Perngadilan Negeri Masohi di Maluku Tengah, ini pada penjatuhan hukuman mati, sementara dalam Undang-undang Kekuasaan Kehakiman Nomor 4 tahun 2004. dalam Pasal 28 hakim harus melihat atau mempelajari kebiasaan atau adat setempat dalam menjatuhan putusan pidana terhadap kasus yang berkaitan dengan adat setempat.
Dalam kerangka pelaksanaan Hukum Tanah Nasional dan dikarenakan tuntutan masyarakat adat maka pada tanggal 24 Juni 1999, telah diterbitkan Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No.5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat.
Peraturan ini dimaksudkan untuk menyediakan pedoman dalam pengaturan dan pengambilan kebijaksanaan operasional bidang pertanahan serta langkah-langkah penyelesaian masalah yang menyangkut tanah ulayat.
Peraturan ini memuat kebijaksanaan yang memperjelas prinsip pengakuan terhadap "hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat hukum adat" sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 3 UUPA. Kebijaksanaan tersebut meliputi :
1. Penyamaan persepsi mengenai "hak ulayat" (Pasal 1)
2. Kriteria dan penentuan masih adanya hak ulayat dan hak-hak yang serupa dari masyarakat hukum adat (Pasal 2 dan 5).
3. Kewenangan masyarakat hukum adat terhadap tanah ulayatnya (Pasal 3 dan 4)
Indonesia merupakan negara yang menganut pluralitas di bidang hukum, dimana diakui keberadaan hukum barat, hukum agama dan hukum adat. Dalam prakteknya (deskritif) sebagian masyarakat masih menggunakan hukum adat untuk mengelola ketertiban di lingkungannya.
Di tinjau secara preskripsi (dimana hukum adat dijadikan landasan dalam menetapkan keputusan atau peraturan perundangan), secara resmi, diakui keberadaaanya namun dibatasi dalam peranannya. Beberapa contoh terkait adalah UU dibidang agraria No.5 / 1960 yang mengakui keberadaan hukum adat dalam kepemilikan tanah.
Sumber : Wikipedia

Selasa, 18 Mei 2010

Suara Bumi Sikerei

Sawit dan Kebijakan


Kebijakan bupati Kepulauan Mentawai dalam SK No.188 kiranya mengundang pro-kontra masyarakat Mentawai. Masyarakat Mentawai jelas terbagi beberapa golongan, seperti masyarakat yang pro dan tidak memiliki lahan, kemudian masyarakat yang setuju dan memiliki lahan. Sebaliknya, masyarakat yang tidak setuju tidak memiliki lahan dan masyarakat yang tidak setuju tapi memiliki lahan karena takut lahannya dicaplok perusahaan atau Negara.
Akibat kebijakan di atas masyarakat perpecah-pecah. Hanya persoalannya, kebijakan tersebut apakah sudah sesuai dengan UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan peraturan dan perundang-undangan. Kajiannya bahwa setiap aturan atau kebijakan harus memenuhi unsure-unsur dalam pembuatan peraturan atau kebijakan itu sendiri. Ketika itu (kebijakan) dibuat secara invidu seorang pejabat pemerintahan tanpa dicermati terlebih dahulu, akibatnya akan terjadi pro-kontra di masyarakat.
Nampaknya dipemda Mentawai produk suatu kebijakan tidak proporsional (copy paste), terbukti pada Perda tentang kehutanan yang melarang dan mengatur pengolahan kayu di masyarakat. Sekarang perusahaan masuk yang menghancurkan kayu-kayu yang dilarang oleh Perda Mentawai. Jelas perusahaan sawit dalam memulai operasi akan menghancurkan hutan dan merusak ekosistem, darat, sungai dan laut, padahal perda tentang kelautan juga ada.
Ketika semuanya ini berjalan, bagaimana penegakan perdanya, dimana semuanya menjadi tumpang tindih kebijakan di MEntawai.





l

Mentawai tribe: Tattoos - Tribal Wives - BBC

Suara Bumi Sikerei


Ketika sawit, budaya Mentawai pun menjadi sawit


Pro-kontra antara pendukung sawit dan yang tidak mendukung di masyarakat mulai terdengar. Dari kedai-kedai, perladangan ketika bertemu disana, di laut ketika memancing atau menjala dan paling parahnya menjadi suatu hayalan yang tinggi oleh masyarakat akan uang banyak dengan memberikan lahan kepada perusahaan sawit. Akibat issu sawit pola pikir masyarakat akan kehidupan generasi yang akan datang mulai kelam. Nampaknya lebih terang kearah sawit. Bencana alam yang sering mengancam mulai hilang dari pikir masyarakat akibat sosialisasi yang telah dilakukan oleh pihak perusahaan dengan cara iming-iming. Masalah iming-iming siapa yang tidak terlena bagi masyarakat yang kurang informasi? Inilah yang terjadi di Mentawai. Dikuatirkan, ketika sawit masuk, akan muncul budaya baru di masyarakat, seperti biasanya daun ubi kayu tidak dijual antar masyarakat, ahirnya akan terjadi jual-menjual. Artinya budaya masyarakat menjadi budaya uang, tingkat sosial orang Mentawai terpupus karena uang sawit. Suku yang memiliki lahan besar menjadi tuan takur, sedangkan suku yang memiliki lahan kecil menjadi pekerja pada lahan besar. Kalau ini terjadi, berapa banyak pohon sawit yang tumbuh di Mentawai untuk menyerap air sehingga sungai sebagai jalur transportasi menjadi kering. Sampan tidak akan jalan, pompong tidak akan berputar, supir boat maki-maki diri sendiri. Jadi apa gunanya dengan semua materi yang dimiliki tapi tidak berfungsi? Budaya materi jelas akan lahir di masyarakat yang mengakibatkan turunnya moral.
Sawit salah satu fenomena yang membuat kita geleng-geleng kepala karena lahan yang diplot tidak sedikit, tetapi ribuan hentar luasnya. Kuatirnya pemukiman masyarakat menjadi sasaran juga.
Selain diatas, masyarakat akan tergantung hidupnya pada perusahaan sawit. Ketika ada kegiatan masyarakat, ujung-ujungnya proposal ke perusahaan. Sistem kegotongroyongan akan hilang drastis tak terbatas. Masyarakat menjadi manja, parahnya ketika perusahaan tidak memfasilitasi masyarakat pada suatu saat nanti, masyarakat baru menyadari bahwa mereka terperdaya, dan apa boleh buat hutan sudah gubdul, sawit sudah tumbuh besar dan tanah masyarakat (adat) sudah milik Negara untuk di UGB kan oleh perusahaan.

Jumat, 14 Mei 2010

PEKAN BUDAYA TAHUN 2010



Dinas Pariwisata Kabupaten Kepulauan Mentawai mempunyai dua program, yaitu Pekan Budaya dan Silainge-Siokko. Acara Pekan budaya dipersiapkan dengan membawa beberapa pemuda dari Desa Madobag yang memiliki kemampuan menari (turuk laggai) dijemput oleh salah satu staf Dinas Pariwisata ke Desa Madobag dan dibawa ke Tuapejat untuk acara Pekan Budaya yang akan digelar pada hari Minggu malam, tanggal 16 Mei tahun 2010.
Acara pekan budaya sering terjadi dan menampilkan budaya Mentawai sebagai symbol bahwa kebudayaan Mentawai memiliki suatu keunikan. Selain itu sebagai ajang promosi bahwa kebudayaan Mentawai masih ada dan utuh serta berkembang secara beregenerasi.Selain itu didirikan juga stan Kabupaten Mentawai selama pekan budaya digelar. Namun pada tanggal 19 Mei team Bumi Sikerei mengunjungi stand. Kiranya di dalam stand belum begitu ada banyak yang dipromosikan, nampak ada koraibi, kalung mentawai dan beberapa sovenir ikan yang terbuat dari plastik. Padahal kerajinan tangan Mentawai sangat banyak tetapi belum maksimal pemanfaatannya.
Pada dasarnya kebudayaan Mentawai sangat terkenal karena bersifat tradisional yang memiliki nilai-nilai kehidupan yang selaras dengan alam dan lingkungannya.
Ada beberapa manfaat pagelaran kebudayaan, sebagai berikut :
1. Lestarinya budaya dan nilainya
2. Ilmu pengetahuan kebudayaan bangsa
3. Membangkitkan kesadaran masyarakatkan tentang keberadaan kebudayaan Mentawai
4. Dll.
Kebudayaan merupakan suatu identitas yang sifatnya mendasar dari lahir sampai akhir hayat. Banyak hasil atau nilai kebudayaan Mentawai, dan bukan hanya antraksi tari saja, melainkan hasil-hasil karya dari seni kerajinan tangan serta cara hidup orang Mentawai.
Harapan kedepan pihak dinas Pariwisata Mentawai tidak hanya melihat dari segi materi, namun memiliki niat untuk lebih mengembangkannya sebagai program yang bermutu.

Sabtu, 08 Mei 2010

Fenomena Masyarakat adat dan Sawit


___________________________________
Masyarakat Adat merupakan istilah umum yang dipakai di Indonesia untuk paling tidak merujuk kepada empat jenis masyarakat asli yang ada di dalam negara-bangsa Indonesia. Dalam ilmu hukum dan teori secara formal dikenal Masyarakat Hukum Adat, tetapi dalam perkembangan terakhir, masyarakat asli Indonesia menolak dikelompokkan sedemikian mengingat perihal adat tidak hanya menyangkut hukum, tetapi mencakup segala aspek dan tingkatan kehidupan.(Wikipedia)
Secara singkat dapat dikatakan bahwa secara praktis dan untuk kepentingan memahami dan memaknai Deklarasi ini di lapangan, maka kata "masyarakat adat" dan "masyarakat/penduduk pribumi" digunakan silih berganti dan mengandung makna yang sama. Pandangan yang sama dikemukakan dalam merangkum konsep orang-orang suku dan populasi/orang-orang asli dari Departemen Urusan Sosial Ekonomi PBB dengan merujuk kepada Konvensi ILO 107 (1957) dan 169 (1989).
Sem Karoba menyatakan dalam bukunya[rujukan?] yang menerjemahkan Deklarasi Masyarakat Hak Asasi Adat (atau Deklarasi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hak Asasi Masyarakat Adat, atau disebut juga Deklarasi Masyarakat Adat) menyatakan "secara praktis ternyata mereka yang menyebut dirinya sebagai orang asli atau orang suku menyetujui agar kedua istilah ini digunakan secara sinonim:
Masih ada debat panjang tentang makna kedua istilah secara semantik, normatif, kronologis, politis dan sebagainya, tetapi secara praktis masyarakat yang merasa dirinya sedang ditangani dan dilayani lewat Deklarasi ini mengidentifikasi diri mereka sebagai bumiputra (indigenous). Dalam Konvensi ILO dan Deklarasi ini sendiri disebutkan bahwa identifikasi diri sendiri dari masyarakat merupakan kunci dalam menempatkan sebuah entitas sosial sebagai masyarakat adat. Idenfitikasi diri merupakan hak dasar yang dijamin dalam berbagai hukum universal yang sudah berlaku sejak pendirian PBB. Dalam Konvensi ILO No.169 tahun 1986 menyatakan bahwa:
Bangsa, suku, dan masyarakat adat adalah sekelompok orang yang memiliki jejak sejarah dengan masyarakat sebelum masa invasi dan penjajahan, yang berkembang di daerah mereka, menganggap diri mereka beda dengan komunitas lain yang sekarang berada di daerah mereka atau bukan bagian dari komunitas tersebut. Mereka bukan merupakan bagian yang dominan dari masyarakat dan bertekad untuk memelihara, mengembangkan, dan mewariskan daerah leluhur dan identitas etnik mereka kepada generasi selanjutnya; sebagai dasar bagi kelangsungan keberadaan mereka sebagai suatu sukubangsa, sesuai dengan pola budaya, lembaga sosial dan sistem hukum mereka. (Wikipedia)
“Jika negara tidak mengakui masyarakat adat, masyarakat adat juga tidak mengakui Negara”. Kalimat ini menjadi dasar bagi masyarakat adat pada dalam kongres I AMAN yang berlangsung di Hotel Indonesia, Jakarta, dari tanggal 17 sampai 22 Maret 1999, telah menjadi momentum konsolidasi bagi pergerakan masyarakat adat di Indonesia. Salah satunya dengan terbentuknya AMAN sebagai wadah organisasi bagi masyarakat adat untuk menegakkan hak-hak adatnya dan memposisikan dirinya sebagai komponen utama didalam kehidupan berbangsa dan bernegara. AMAN adalah induk organisasi masyarakat adat. Dari berbagai bangsa di Negara Indonesia yang beradat hadir dalam kongres I termasuk utusan Mentawai. Dengan kalimat di atas, artinya bahwa kalau tidak ada masyarakat adat, Negara pun tidak pernah ada. Oleh karena itu, mengapa Negara selalu menindas rakyat? Ini tidak masuk akal dalam sebuah Negara yang demokrasi.

Lahirnya AMAN disebabkan adanya kebijakan Negara/pemerintah yang memarjinalkan masyarakat adat terutama hak-hak adat. Pemerintah tidak menyadari bahwa masyarakat adat adalah pilar pembangunan dari bermacam sector, dan pemerintah tinggal memvasilitasinya. Namun justru terbalik, malah masyarakat adat yang menjadi pelayan pemerintah. Padahal lahirnya suatu Negara itu mempunyai tujuan dan cita-cita bersama untuk kesejahteraan.

Kalau kita lihat dan perbandingkan di Kabupaten Mentawai, posisi adat dan masyarakat jelas diabaikan. Pertama bahwa setiap pembangunan di Mentawai tidak Nampak pembangunan identitas Mentawai. Kedua, tidak ada kebijakan tentang perlindungan dan pelestarian budaya-adat Mentawai. Namun justru menjadi objek program yang tidak jelas motivasi dan tujuannya.

Kalau didaerah lain seperti padang Pariaman dan kota Padang sangat kental dengan budaya-adat istiadatnya, dan pemerintah sangat respek hal itu. Di Mentawai sangat aneh, pemerintah sepertinya menganggap budaya dan adat istiadat mentawai itu tidak terlalu penting sehingga tidak ada inisiatif untuk mengembangkannya.

Sekarang Bupati Kepulauan Mentawai ingin memasukkan perusahaan sawit di Mentawai, Kekhawatiran masyarakat adat Mentawai sebenarnya penguasaan tanah adat mereka untuk kepentingan investasi daerah dan negara. Salah satu hal yang mengkhawatirkan masyarakat adat adalah kehilangan hak miliknya atas tanah adat warisan leluhur sejak dahulu kala. Pengelolaan sumberdaya hutan yang berorientasi eksport pada zaman kejayaan HPH /IPK di semua daerah Mentawai tahun 1970-an adalah penyebabnya. Namun, kekhawatiran itu lebih sadis ketika isu Perusahaan sawit akan masuk yang membutuhkan lahan yang sangat luas dan penebangan pohon-pohon yang besa. Efeknya adalah jelas masyarakat adat akan kehilangan tanah adat untuk kepentingan produksi minyak sawit demi memenuhi kebutuhan masyarakat dunia di negara-negara maju yang membutuhkan bakar bakar ethanol. Mungkin perlu belajar dari kegagalan-kegagalan dalam pengelolaan perkebunan sawit milik pemerintah seperti PT. Perkebunan Nusantara (PT.PN) yang berpusat di Tanjung Morawa Medan Sumatra Utara. Perusahaan ini sudah lama bekerja juga di Tanah Papua yang mengklaim sejumlah hektar tanah di Prafi/Manokwari dan Arso/Jayapura.

Pembukaan lahan kelapa sawit di Arso dan Prafi pada waktu lalu memang dilematis. Selain untuk kepentingan negara dan kondisi keamanan yang tidak nyaman, membuat masyarakat pemilik hak ulayat hanya bisa mengikuti keinginan penguasa dan pengusaha. Bagaimana pun argumen pemerintah dan pengusaha sawit adalah pasal 33 UUD 1945. Alasan itu menyebabkan sebagian besar pejanjian dibuat tanpa melibatkan masyarakat adat Papua sebagai pemegang hak adat atas sebuah wilayah. Kejadian di Arso Jayapura sama saja dengan pengalaman masyarakat di Prafi Manokwari. Selama puluhan tahun, kehidupan masyarakat adat Papua menjadi tertekan di atas tanah adat mereka sendiri. Sekalipun dalam kenyataan, mereka juga diberi kesempatan sebagai petani plasma di perkebunan sawit milik BUMN itu. Hanya, mereka tidak pernah merasakan kebebasan karena lebih banyak tertekan selama mengurus jenis tumbuhan liar yang didatangkan dari benua Afrika dan Amerika itu. Kekerasan berdimensi hak asasi manusia pun tidak jarang terjadi, karena pendekatan perusahaan dan penguasa pemerintah selalu mengandalkan kekuatan alat keamanan negara dalam proses-proses pembangunan itu. Sejak awalnya, memang tidak ada proses negosiasi, apalagi kesepakatan tanpa tekanan. Perusahaan dan penguasa selalu menang, karena pembangunan itu mengatasnamakan ’kepentingan negara, pembangunan nasional, pemberantasan separatisme’. Namun pada akhirnya, terungkap pula semua kejadian yang terkubur itu bahwa BUMN Sawit pun digugat atas dasar hak masyarakat atas tanah adat dan hak-hak dasar lainnya yang tidak dijamin oleh baik perusahaan maupun penguasa pemerintahan negara.

Bagaimana Keberadaan Masyarakat Adat


Dalam kongres AMAN (Aliansi Masyarakat Adat Nusantara) pada bulan Maret Tahun 1999, terungkap kalimat "“Kalau Negara tidak mengakui kami, kami pun tidak mengakui Negara”. Maka atas dasar itu, bagaimana masyarakat adat melihat dan menempatkan posisi dalam hubungannya dengan negara. Posisi ini dibangun dari satu
pendefinisian diri sendiri bahwa masyarakat adat adalah “komunitas-komunitas yang hidup berdasarkan asal-usul leluhur secara turun-temurun di atas suatu wilayah adat, yang memiliki kedaulatan atas tanah dan kekayaan alam, kehidupan sosial budaya yang diatur oleh hukum adat dan lembaga adat untuk mengelola keberlangsungan kehidupan masyarakatnya”.(Abdon Nababan2)

Oleh karena itu bahwa berdasarkan atas pernyataan di atas, negara dalam kebijakannya, harus memperhatikan masyarakat adat. Pemerintah secara individu juga berasal dari masyarakat adat harus memahami dan mengakui dirinya berasal dari masyarakat adat.

Sebenarnya kalau kita telusuri lahirnya sebuah negara,jelas ada unsur masyarakatnya, selain wilayah dan pemerintahan. Lahirnya negara karena adanya keinginan bersama untuk mencapai suatu tujuan mulia yang dicita-citakan oleh rakyat. Kalau tidak ada rakyat, tentu negara tidak mungkin ada, apalagi pemerintahannya. Antara Negara dan rakyat sangat intim hubungannya dalam pencapaian suatu tujuan bersama. Namun kehendak bersama itu berubah. Negara menjadi penguasa melalui alat-latnya (pemerintah) terhadap rakyatnya. Dalam kategori rakyat, jelas semua bangsa di Indonesia memiliki budaya dan adat-istiadat sehingga rakyat disebut masyarakat adat. Oleh karena itu dalam sebuah negara seperti Indonesia, bermacam ragam suku bangsa, juga bermacam ragam budaya-adat.

Kalau kita sejenak menengok sejarah, kita melihat bagaimana para perintis negara ini yang menjunjung tinggi pesan yang disampaikan Mpu Tantular dengan menjadikan “Bhineka Tunggal Ika” sebagai landasan persatuan bangsa ini. Bahkan tidak berhenti sampai disitu, landasan tersebut kemudian diterjemahkan ke dalam salah satu pasal di dalam Undang-Undang Dasar 1945 Bab IV, Pasal 18 yang bersembunyi, “Pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan daerah kecil, dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan undang-undang, dengan memandang dan mengingati dasar-dasar permusyawaratan dalam sistem pemerintahan negara dan ha-hak asal-usul dalam daerah yang bersifat istimewa”. Kalau demikian, Kabupaten kepulauan Mentawai juga jelas memiliki keistimewaan, terutama dalam bidang budaya dan teritorialnya. Pada awal perjuangan menjadi sebuah kabupaten Mentawai, sebenarnya tidak hanya sekedar sebuah kabupaten otonomi, tetapi diperjuangkan juga keistimewaannya Mentawai, menjadi kabupaten otonom khusus.

Di Sumatera Barat hanya ada dua suku, yaitu Minangkabau dan Mentawai. Disitulah letak keistimewaan/khususnya Mentawai.Itulah masyarakat adat Mentawai yang memiliki wilayah hukum secara adat.(Laurensius Sarogdok)

Bunyi pasal ini diperjelas dengan penjelasan yang berbunyi, “Dalam terorir Indonesia terdapat lebih kurang 250 Zelfbestrurunde landscappen dan Volkgemeencshappen seperti desa di Jawa dan Bali, negeri di Minangkabau,laggai di Mentawai, dusun dan marga di Palembang dan sebagainya. Daerah-daerah itu mempunyai susun asli, dan oleh karenanya dapat dianggap sebagai daerah yang bersifat istimewa. Negara Republik Indonesia menghormati kedudukan daerah-daerah istimewa tersebut dan segala peraturan negara yang mengenai daerah-daerah itu akan mengingati hak-hak asal-usul daerah tersebut”. Maka dapat dikatakan bahwa UUD 1945 mengandung pengakuan atas keberadaan ‘persekutuan-persekutuan hubungan dan politik tradisi’ yang bersumber dan/atau merupakan bagian dari sistem budaya berbagai kelompok masyarakat yang tercakup dalam territorial (wilayah hukum) Negara kesatuan Republik Indonesia. Dengan demikian secara mudah dapat dipahami bahwa pengakuan ini tidak hanya terbatas pada aspek wujud lembaga semata, melainkan juga pada aspek-aspek struktural organisasi, mekanisme kerja, peraturan-peraturan yang dikandungnya, serta berbagai hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang terkandung di dalam sistem kelembagaan tersebut.(Sapei Rusin

Disampaikan pada Forum Diskusi Interseksi, “Civil Rights dan Demokratisasi: Pengalaman Indonesia”, (12-14 Agustus 2002, Selabintana, Sukabumi)

Sawit “menyelam sambil minum air”


Seperti data puailiggobat bahwa luar areal sawit yang direncanakan terutama di Pulau Siberut mencapai 19.500 ha oleh PT MGPP (Mentawai Golden Plantation Pratama. Izin Perusahaan dikantongi atas SK. Bupati Kepulauan Mentawai Nomor 188. 45-61 Tahun 2010.
Nah, pengalaman di Pontianak banyak perusahaan sawit yang beroperasi illegal, padahal izinnya sudah habis, tetapi masih melakukan pembabatan hutan. PT Ledo Lestasri hanya memiliki izin pengembangan sawit sekitar 20 ribu hektare, kini perusahaan itu telah membabat hutan seluas 100 ribu hektare. Akibatnya hutan adat milik masyarakat setempat seluas 2.380 hektare menjadi rusak dan tersisa sekitar 930 hektare. Hingga kini PT Ledo Lestari anak perusahaan PT Duta Palma Nusantara Group masih gencar melakukan pembabatan hutan. Pihak perusahaan tidak segan-segan melakukan intimidasi menggunakan kekuatan aparat penegak hukum kepada masyarakat setempat apabila menolak. (WALHI)
Nampaknya Pemda Mentawai tidak konsisten dalam aturan. Secara logika, Pemerintah melarang masyarakat menebang pohon, baik dikebun maupun diluar kebun. Padahal itu kebutuhan masyarakat. Tetapi Perusahaan sawit masuk dengan memporak-porandakan hutan dan habit di dalamnnya, bagaimana dengan sanksinya? Padahal hanya lasan sepele “memperbaiki perekonomian masyarakat Mentawa”. Saya kuatirnya, banyak produk Perda yang sifatnya melangkahi aturan yang lebih tinggi, soalnya pelaksanaan aturan tidak jelas dan membingingkan masyarakat.
Sekarang, kalau jadi perusahaan sawit masuk ke Mentawai, terutama pulau Siberut, apakah itu yang kita inginkan seperti yang terjadi terhadap saudara-saudara kita di Kalimanta? Bisa saja Perusahaan juga membabat kayu dan menjualnya. Artinya selain membuat lahan sawit, kayunya dimanfaatkan untuk masukan baru bagi perusahaan.
Sebenarnya keberadaan sawit, walaupun di AMDAL, itu tidak relefan. Kepulauan Mentawai rentan dengan bencana, dan kemudian hasil AMDAL pun hanya akal-akalan sebagai alasan masuknya sawit saja.
Kemudian dari total 19.500 hektar ada iming-iming areal yang akan dijadikan kebun plasma yang diolah langsung oleh rakyat namun satu manajemen dengan PT MGPP. Mereka juga berjanji akan melakukan kajian lagi langsung ke masyarakat si pemilik tanah ulayat apakah mereka setuju atau menolak adanya kebun kelapa sawit di tanah mereka. (puailiggoubat)
Kebun plasma yang diberikan untuk dikelolah masyarakat, bisa saja untuk membantu perusahaan numpang ditanah masyarakat. Karena tetap satu managemen dengan perusahaan.
Dampak sosial dari perkebunan kelapa sawit baru mulai dipahami, sebagian besar berkat kerja dari Dr. Lisa CUrran. Walau tak diragukan lagi bahwa perkebunan kelapa sawit menyediakan kesempatan kerja yang besar di Kalimantan, ada keraguan mengenai keadilan dari sistem yang ada, yang sepertinya kadang kala menjadikan para pemilik perkebunan kecil dalam kondisi yang mirip dengan perbudakan. (Rhett A. Butle)
Yang jelas semua perusahaan akan tetap memakai dan mencari strategi supaya masuk ditanah Mentawai. Yang paling parahnya ketika Tanah mentawai ujung-ujungnya menjadi milik Negara secara diam-dian karena perusahaan. Orang Mentawai dan generasinya akan kemana? Ini yang tidak bisa dibayangkan.
Disisi lain wadah masyarakat adat (AMA-PM) tidak kuat dan belum melakukan sesuatu yang mendasar di Masyarakat Mentawai. Baik financial, SDM dan startegi untuk melakukan suatu program adat demi masyarakat adat Mentawai. Hanya ngomomg panjang lebar membuat mata kita ngantuk.
Saya pinginnya AMA-PM berani melakukan gerakan. Kalau tidak berani AMA-PM lakukan suatu kajian bagaimana masyarakat mentawai bias terkoper dalam satu visi dan misi. AMA-PM merupakan jiwanya masyarakat Mentawai dan seharusnya menjadi tempat pengaduan masyarakat adat di Mentawai.

Dampak Buruk Pabrik Sawit pada lingkungan





Pada dasarnya dimana ada kelapa sawit disitu juga ada pabriknya. Oleh karena itu dampak pabrik kelapa sawit sangat luar biasa dalam kehidupan masyarakat terutama asap dan limbahnya. Limbah pabrik jelas akan keluar kesungai atau laut, sedangkan asapnya akan terus dihirup. Daerah Mentawai secara original merupakan pusat udara yang bersih dan masyarakat menikmati hal itu. Bagaimana dengan kehadiran pabrik sawit nantinya? Hutan Mentawai hancur, asap membumbung tinggi dan menyebar kesemua seantero daerah, tentu tidak alagi lagi penyaring karena hutan habis dibabat oleh perusahaan. Kerugian yang terbesar bagi Mentawai adalah hilangnya hutan, dan terjadinya polusi atau pencemaran udara maupun air/laut. apakah ini yang diinginkan Pemda Mentawai? Apakah generasi kedepan tidak akan mengutuk pemimpin Mentawai ketika mereka yang akan merasakan selama 60 tahun dalam masa pertumbuhannya dengan seiring lamanya perusahaan beroperasi? Setiap kebijakan Pemda Mentawai masih sangat tidak melihat dari segi filosofis, sosiologi dan yuridis.

Kekuatiran kedepan akan munculnya perusahaan kelapa sawit adalah terjadinya komplik sosial termasuk sengketa hak tanah dan sumberdayanya sering disebabkanoleh ekspansi lahan perkebunan.Ada lebih dari 500 kasus konflik sosial di sektor
perkebunan kelapa sawit Indonesia, terutama soal hak atas tanah, sengketa tenaga kerja,ketidakharmonisan kemitraan perusahaan dengan komunitas, kriminalisasi penduduk desa, dan skandal politik tingkat tinggi termasuk penerbitan izin ilegal untuk konversi hutan alam untuk perkebunan kelapa sawit dan areal perkebunan di kawasan hutan yang dilindungi dan taman-taman nasional.(March 2010 Published by Greenpeace International Ottho Heldringstraat 51066 AZ Amsterdam).


Hutan-hutan di dunia adalah rumah bagi sekitar dua-pertiga dari semua spesies
tanaman dan hewan di darat. Mereka membentuk berbagai ekosistem yang paling beragam di dunia dan sangat penting untuk kesehatan planet ini. Sementara spesies baru untuk ilmu pengetahuan masih terus ditemukan, banyak spesies yang lebih
terkenal, termasuk orangutan, badak Jawa dan harimau Sumatera beresiko punah karena
hilangnya habitat alami mereka. Bagaimana dengan flora dan fauna di Mentawai ketika perusahaan sawit masuk? 4 macam binatang endemik Mentawai akan hilang begitu saja.

Suara Potingan

MENTAWAI DAN SAWIT

Pada kemyataannya Mentawai hanyalah gugusan pulau-pulau yang bertahan sepanjang umur karena adanya hutan sebagai benteng pertahanan. Namun semakin berkembangnya pembangunan, Kepulauan Mentawai menjadi terancam kejayaannya. Seperti yang kita ketahui bahwa wilayah Kepulauan Mentawai merupakan salah satu zona titik gempa yang terdasyat di Indonesia. Banyak pakar alam, biologi menyatakan bahwa kekuatan Pulau terletak pada hutannya bukan terletak pada gundulnya hutan.

Nah, sekarang muncul ancaman bagi pulau Mentawai dan masyarakatnya masuknya perusahaan sawit yang membutuhkan areal tidak sedikit dan menghancurkan kayu-kayu atau hutan Mentawai juga tidak sedikit. Apakah kita tidak berpikir atas keselamatan masyarakat Mentawai hanya dengan diiming-iming tentang "perbaikan ekonomi Mentawai". Kalau memperbaiki perekonomian Masyarakat Mentawai, kenapa mesti sawit? Disini jelas sekali tidak ada motivasi pemda Mentawai dengan kreativitas membantu masyarakat Mentawai melalui UKM. Mengap mesti dimulai dengan yang besar kalau justru menghancurkan bangsa, dan tidak memulai dengan yang kecil tetapi masyarakat mampu dan Mentawai selamat. Disilah niat pemda Mentawai betul tidak masuk akal.

Tentang AMDAL itu jelas banyak rekayasa. Sudah banyak perusahaan di Mentawai ini tidak pakai AMDAL, namun walaupun pakai hanya sebuah alas an dalam konstek melakukan pembangunan yang memiliki dampak besar. Jadi AMDAL hanyalah sebuah alasan perusahaan. Sedangkan Kota kabupaten Tuapejat saja tidak ada AMDALnya, apalagi perusahaan ini yang memiliki niat "perbaikan ekonomi masyarakat Mentawai".
Kalau Perusahaan sawit masuk di Mentawai, berarti pemerintah sendiri tidak konsisten dengan UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
STATUS DAN FUNGSI HUTAN
Pasal 5

(1) Hutan berdasarkan statusnya terdiri dari:
a. hutan negara, dan
b. hutan hak.
(2) Hutan negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, dapat berupa hutan adat.
(3) Pemerintah menetapkan status hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2); dan hutan
adat ditetapkan sepanjang menurut kenyataannya masyarakat hukum adat yang bersangkutan
masih ada dan diakui keberadaannya.
(4) Apabila dalam perkembangannya masyarakat hukum adat yang bersangkutan tidak ada lagi, maka
hak pengelolaan hutan adat kembali kepada Pemerintah.

Pasal 6
(1) Hutan mempunyai tiga fungsi, yaitu:
a. fungsi konservasi,
b. fungsi lindung, dan
c. fungsi produksi.
(2) Pemerintah menetapkan hutan berdasarkan fungsi pokok sebagai berikut:
a. hutan konservasi,
b. hutan lindung, dan
c. hutan produksi.

Pasal 7
Hutan konservasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) huruf a terdiri dari :
a. kawasan hutan suaka alam,
b. kawasan hutan pelestarian alam, dan
c. taman buru.
Pasal 8

(1) Pemerintah dapat menetapkan kawasan hutan tertentu untuk tujuan khusus.
(2) Penetapan kawasan hutan dengan tujuan khusus, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diperlukan
untuk kepentingan umum seperti:
a. penelitian dan pengembangan,
b. pendidikan dan latihan, dan
c. religi dan budaya.
(3) Kawasan hutan dengan tujuan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tidak mengubah fungsi pokok kawasan hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6.

Pasal 9

(1) Untuk kepentingan pengaturan iklim mikro, estetika, dan resapan air, di setiap kota ditetapkan kawasan tertentu sebagai hutan kota.
(2) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Dengan landasan UU No 41 Tahun 1999 tentang Kehutan dari Pasal 5 s/d 9, masyarakat punya hak untuk menolaknya.
Mari kiya berjuang demi masa depan kita, dan hak-hak kita.

Perusahaan Sawit Masuk ke Mentawai

Salah satu perusahaan raksasa perkebunan dan pengolahan sawit nasional, PT Gozco Plantation Tbk akan mengembangkan dan mengelola perkebunan sawit di Mentawai.
Lima perusahaan sawit -- dua di antaranya anak perusahaan Gozco Plantation di bawah PT Palma Sejahtera (Group Palma), yakni PT Siberut Golden Plantation Pratama, dan PT Mentawai Golden Plantation Pratama -- akan mengelola perkebunan sawit di Mentawai. Telah dicadangkan areal seluas 73.500 hektar untuk kelima perkebunan sawit itu di 10 kecamatan. Kelima perusahaan itu telah mengantongi Izin Lokasi selama 3 tahun dari Bupati Kabupaten Kepulauan Mentawai Edison Saleleubaja.
PT Siberut Golden Plantation Pratama dengan izin Nomor 188.45-60 tahun 2010 tanggal 22 Maret 2010 memiliki luas areal 20.000 hektar. PT Mentawai Golden Plantation Pratama dengan izin Nomor 188.45-61 tahun 2010 pada tanggal yang sama memiliki luas areal 19.500 hektar. Kedua Perusahaan ini akan mengelola perkebunan sawit di Pulau Siberut yakni di 5 kecamatan seluas 39.500 hektar di areal APL (Areal Penggunaan Lain) dan Kawasan Hutan yang dapat dikonversi.
Rencana masuknya perkebunan sawit di pulau Siberut berjalan mulus. Bupati Mentawai mendukung rencana perkebunan sawit tersebut dengan pencadangan areal lokasi perkebunan untuk PT SGPP ( Siberut Golden Platantion Pratama). (Puailiggoubat)
Bupati Mentawai telah mengeluarkan izin lokasi perkebunan sawit dengan pencadangan lokasi seluas 14.500 Ha dengan SK Bupati No.188.45-1 tahun 2009, Engineering, tenaga ahli jebolan Air New Zealand 2001 dari PT. Alas Consultants yang berkantor pusat di Bogor, Jawa Barat, yang dipercaya PT. SGPP untuk membuat AMDAL rencana lokasi perkebunan saat sosialisasi di Kantor Camat Siberut Utara Selasa (20/4). (Puailiggoubat)
Pihak perusahaan bekerja sama dengan pemerintahan Mentawai telah melakukan sosialisasi kepada masyarakat melalui kepala-kepala desa. Namun kalau ini terjadi sosialisasinya hanya beberapa pihak saja, tidak dengan masyarakat. Pemda Mentawai tidak konsisten tentang keadaan bencana di Mentawai, justru memasukkan perusahaan yang nuansanya membabat hutan Mentawai.
Menurut pandangan saya, bahwa dalam soal sawit jelas hanya pihak-pihak tertentu saja yang diuntungkan, sedangkan masyarakat jelas dirugikan, mengapa demikian ? itu sudah aturan main oleh para elit dan pejabat. Nampaknya nyawa manusia tidak berharga di Mentawai dan lebih berharga uang dan bisnis. Kalau kita lihat luas area serta lamanya beroperasi PT Siberut Golden, bagaimana kita bias bayangkan kehancuran hutan Mentawai. AMDAL jelas hanya sebuah alas an, sering terjadi bahwa setiap AMDAL selalu hasilnya “BISA” namun tidak ada yang tidak “BISA”. Artinya kalau bias terus tentu perusahaan akan beroperasi.
Sudah banyak pengalam masyarakat Mentawai tentang IPK, HPH yang pernah beroperasi di Mentawai, AMDAL tidak ada, kemudian reboisasi tidak ada, hanya hutan Mentawai Nampak jelas gundul. Sungai-sungai sebentar banjir, dan masyarakat yang merasakan dampaknya. Apakah ini sustu pembangunan yang bijaksana dari pemerintah ? Apakah ini yang dimaksud dalam konstitusi kita ?
Masalah alas an perbaikan perekonomian masyarakat Mentawai itu tidak benar menurut saya, karena mentawai memiliki sumber daya alam yang bai, hanya pihak pemerintah mentawai tidak memiliki niat dan tingkat kreativitas untuk mengembangkan perekonomian masyarakat lewat UKM. Pemerintah lebih menginginkan system perekonomian yang memberikan keuntungan sebelah pihak dan kerugian bagi empunya pemilik lahan.