Berita Mentawai: Fenomena Masyarakat adat dan Sawit

Sabtu, 08 Mei 2010

Fenomena Masyarakat adat dan Sawit


___________________________________
Masyarakat Adat merupakan istilah umum yang dipakai di Indonesia untuk paling tidak merujuk kepada empat jenis masyarakat asli yang ada di dalam negara-bangsa Indonesia. Dalam ilmu hukum dan teori secara formal dikenal Masyarakat Hukum Adat, tetapi dalam perkembangan terakhir, masyarakat asli Indonesia menolak dikelompokkan sedemikian mengingat perihal adat tidak hanya menyangkut hukum, tetapi mencakup segala aspek dan tingkatan kehidupan.(Wikipedia)
Secara singkat dapat dikatakan bahwa secara praktis dan untuk kepentingan memahami dan memaknai Deklarasi ini di lapangan, maka kata "masyarakat adat" dan "masyarakat/penduduk pribumi" digunakan silih berganti dan mengandung makna yang sama. Pandangan yang sama dikemukakan dalam merangkum konsep orang-orang suku dan populasi/orang-orang asli dari Departemen Urusan Sosial Ekonomi PBB dengan merujuk kepada Konvensi ILO 107 (1957) dan 169 (1989).
Sem Karoba menyatakan dalam bukunya[rujukan?] yang menerjemahkan Deklarasi Masyarakat Hak Asasi Adat (atau Deklarasi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hak Asasi Masyarakat Adat, atau disebut juga Deklarasi Masyarakat Adat) menyatakan "secara praktis ternyata mereka yang menyebut dirinya sebagai orang asli atau orang suku menyetujui agar kedua istilah ini digunakan secara sinonim:
Masih ada debat panjang tentang makna kedua istilah secara semantik, normatif, kronologis, politis dan sebagainya, tetapi secara praktis masyarakat yang merasa dirinya sedang ditangani dan dilayani lewat Deklarasi ini mengidentifikasi diri mereka sebagai bumiputra (indigenous). Dalam Konvensi ILO dan Deklarasi ini sendiri disebutkan bahwa identifikasi diri sendiri dari masyarakat merupakan kunci dalam menempatkan sebuah entitas sosial sebagai masyarakat adat. Idenfitikasi diri merupakan hak dasar yang dijamin dalam berbagai hukum universal yang sudah berlaku sejak pendirian PBB. Dalam Konvensi ILO No.169 tahun 1986 menyatakan bahwa:
Bangsa, suku, dan masyarakat adat adalah sekelompok orang yang memiliki jejak sejarah dengan masyarakat sebelum masa invasi dan penjajahan, yang berkembang di daerah mereka, menganggap diri mereka beda dengan komunitas lain yang sekarang berada di daerah mereka atau bukan bagian dari komunitas tersebut. Mereka bukan merupakan bagian yang dominan dari masyarakat dan bertekad untuk memelihara, mengembangkan, dan mewariskan daerah leluhur dan identitas etnik mereka kepada generasi selanjutnya; sebagai dasar bagi kelangsungan keberadaan mereka sebagai suatu sukubangsa, sesuai dengan pola budaya, lembaga sosial dan sistem hukum mereka. (Wikipedia)
“Jika negara tidak mengakui masyarakat adat, masyarakat adat juga tidak mengakui Negara”. Kalimat ini menjadi dasar bagi masyarakat adat pada dalam kongres I AMAN yang berlangsung di Hotel Indonesia, Jakarta, dari tanggal 17 sampai 22 Maret 1999, telah menjadi momentum konsolidasi bagi pergerakan masyarakat adat di Indonesia. Salah satunya dengan terbentuknya AMAN sebagai wadah organisasi bagi masyarakat adat untuk menegakkan hak-hak adatnya dan memposisikan dirinya sebagai komponen utama didalam kehidupan berbangsa dan bernegara. AMAN adalah induk organisasi masyarakat adat. Dari berbagai bangsa di Negara Indonesia yang beradat hadir dalam kongres I termasuk utusan Mentawai. Dengan kalimat di atas, artinya bahwa kalau tidak ada masyarakat adat, Negara pun tidak pernah ada. Oleh karena itu, mengapa Negara selalu menindas rakyat? Ini tidak masuk akal dalam sebuah Negara yang demokrasi.

Lahirnya AMAN disebabkan adanya kebijakan Negara/pemerintah yang memarjinalkan masyarakat adat terutama hak-hak adat. Pemerintah tidak menyadari bahwa masyarakat adat adalah pilar pembangunan dari bermacam sector, dan pemerintah tinggal memvasilitasinya. Namun justru terbalik, malah masyarakat adat yang menjadi pelayan pemerintah. Padahal lahirnya suatu Negara itu mempunyai tujuan dan cita-cita bersama untuk kesejahteraan.

Kalau kita lihat dan perbandingkan di Kabupaten Mentawai, posisi adat dan masyarakat jelas diabaikan. Pertama bahwa setiap pembangunan di Mentawai tidak Nampak pembangunan identitas Mentawai. Kedua, tidak ada kebijakan tentang perlindungan dan pelestarian budaya-adat Mentawai. Namun justru menjadi objek program yang tidak jelas motivasi dan tujuannya.

Kalau didaerah lain seperti padang Pariaman dan kota Padang sangat kental dengan budaya-adat istiadatnya, dan pemerintah sangat respek hal itu. Di Mentawai sangat aneh, pemerintah sepertinya menganggap budaya dan adat istiadat mentawai itu tidak terlalu penting sehingga tidak ada inisiatif untuk mengembangkannya.

Sekarang Bupati Kepulauan Mentawai ingin memasukkan perusahaan sawit di Mentawai, Kekhawatiran masyarakat adat Mentawai sebenarnya penguasaan tanah adat mereka untuk kepentingan investasi daerah dan negara. Salah satu hal yang mengkhawatirkan masyarakat adat adalah kehilangan hak miliknya atas tanah adat warisan leluhur sejak dahulu kala. Pengelolaan sumberdaya hutan yang berorientasi eksport pada zaman kejayaan HPH /IPK di semua daerah Mentawai tahun 1970-an adalah penyebabnya. Namun, kekhawatiran itu lebih sadis ketika isu Perusahaan sawit akan masuk yang membutuhkan lahan yang sangat luas dan penebangan pohon-pohon yang besa. Efeknya adalah jelas masyarakat adat akan kehilangan tanah adat untuk kepentingan produksi minyak sawit demi memenuhi kebutuhan masyarakat dunia di negara-negara maju yang membutuhkan bakar bakar ethanol. Mungkin perlu belajar dari kegagalan-kegagalan dalam pengelolaan perkebunan sawit milik pemerintah seperti PT. Perkebunan Nusantara (PT.PN) yang berpusat di Tanjung Morawa Medan Sumatra Utara. Perusahaan ini sudah lama bekerja juga di Tanah Papua yang mengklaim sejumlah hektar tanah di Prafi/Manokwari dan Arso/Jayapura.

Pembukaan lahan kelapa sawit di Arso dan Prafi pada waktu lalu memang dilematis. Selain untuk kepentingan negara dan kondisi keamanan yang tidak nyaman, membuat masyarakat pemilik hak ulayat hanya bisa mengikuti keinginan penguasa dan pengusaha. Bagaimana pun argumen pemerintah dan pengusaha sawit adalah pasal 33 UUD 1945. Alasan itu menyebabkan sebagian besar pejanjian dibuat tanpa melibatkan masyarakat adat Papua sebagai pemegang hak adat atas sebuah wilayah. Kejadian di Arso Jayapura sama saja dengan pengalaman masyarakat di Prafi Manokwari. Selama puluhan tahun, kehidupan masyarakat adat Papua menjadi tertekan di atas tanah adat mereka sendiri. Sekalipun dalam kenyataan, mereka juga diberi kesempatan sebagai petani plasma di perkebunan sawit milik BUMN itu. Hanya, mereka tidak pernah merasakan kebebasan karena lebih banyak tertekan selama mengurus jenis tumbuhan liar yang didatangkan dari benua Afrika dan Amerika itu. Kekerasan berdimensi hak asasi manusia pun tidak jarang terjadi, karena pendekatan perusahaan dan penguasa pemerintah selalu mengandalkan kekuatan alat keamanan negara dalam proses-proses pembangunan itu. Sejak awalnya, memang tidak ada proses negosiasi, apalagi kesepakatan tanpa tekanan. Perusahaan dan penguasa selalu menang, karena pembangunan itu mengatasnamakan ’kepentingan negara, pembangunan nasional, pemberantasan separatisme’. Namun pada akhirnya, terungkap pula semua kejadian yang terkubur itu bahwa BUMN Sawit pun digugat atas dasar hak masyarakat atas tanah adat dan hak-hak dasar lainnya yang tidak dijamin oleh baik perusahaan maupun penguasa pemerintahan negara.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

BERIKAN KOMENTAR YANG LAYAK